Setelah mengulas
tantangan kontemporer yang dihadapi oleh teknologi refrigerasi/pengkondisian
udara serta beberapa alternatif sistem yang telah dikembangkan untuk menghadapi
tantangan tersebut, bagian ke-3 dari seri tulisan tentang refrigerasi ini
mengulas perkembangan teknologi di bidang refrigeran (fluida kerja mesin
refrigerasi) dan teknologi mesin refrigerasi itu sendiri.
Perkembangan Teknologi di Bidang Refrigeran
Refrigeran adalah fluida kerja yang bersirkulasi dalam siklus refrigerasi.
Refrigeran merupakan komponen terpenting siklus refrigerasi karena dialah yang
menimbulkan efek pendinginan dan pemanasan pada mesin refrigerasi. Seperti
telah dijelaskan pada Bagian 1, masalah kontemporer yang menghadang refrigeran
adalah munculnya lubang ozon dan pemanasan global.
ASHRAE (2005) mendefinisikan refrigeran sebagai fluida kerja di dalam mesin
refrigerasi, pengkondisian udara, dan sistem pompa kalor. Refrigeran menyerap
panas dari satu lokasi dan membuangnya ke lokasi yang lain, biasanya melalui
mekanisme evaporasi dan kondensasi. Calm (2002) membagi perkembangan refrigeran
dalam 3 periode: Periode pertama, 1830-an hingga 1930-an, dengan kriteria
refrigeran "apa pun yang bekerja di dalam mesin refrigerasi".
Refrigeran yang digunakan dalam periode ini adalah ether, CO2, NH3, SO2,
hidrokarbon, H2O, CCl4, CHCs. Periode ke-dua, 1930-an hingga 1990-an
menggunakan kriteria refrigeran: aman dan tahan lama (durable). Refrigeran pada
periode ini adalah CFCs (Chloro Fluoro Carbons), HCFCs (Hydro Chloro Fluoro
Carbons), HFCs (Hydro Fluoro Carbons), NH3, H2O. Periode ke-tiga, setelah
1990-an, dengan kriteria refrigeran "ramah lingkungan". Refrigeran
pada periode ini adalah HCFCs, NH3, HFCs, H2O, CO2.
Perkembangan mutakhir di bidang refrigeran utamanya didorong oleh dua masalah
lingkungan, yakni lubang ozon dan pemanasan global. Sifat merusak ozon yang
dimiliki oleh refrigeran utama yang digunakan pada periode ke-dua, yakni CFCs,
dikemukakan oleh Molina dan Rowland (1974) yang kemudian didukung oleh data
pengukuran lapangan oleh Farman dkk. (1985). Setelah keberadaan lubang ozon di
lapisan atmosfer diverifikasi secara saintifik, perjanjian internasional untuk
mengatur dan melarang penggunaan zat-zat perusak ozon disepakati pada 1987 yang
terkenal dengan sebutan Protokol Montreal. CFCs dan HCFCs merupakan dua
refrigeran utama yang dijadwalkan untuk dihapuskan masing-masing pada tahun
1996 dan 2030 untuk negara-negara maju (United Nation Environment Programme,
2000). Sedangkan untuk negara-negara berkembang, kedua refrigeran utama
tersebut masing-masing dijadwalkan untuk dihapus (phased-out) pada tahun 2010
(CFCs) dan 2040 (HCFCs) (Powell, 2002). Pada tahun 1997, Protokol Kyoto
mengatur pembatasan dan pengurangan gas-gas penyebab rumah kaca, termasuk HFCs
(United Nation Framework Convention on Climate Change, 2005).
Powell (2002) menerangkan bebeapa syarat yang harus dimiliki oleh refrigeran
pengganti, yakni:
Memiliki sifat-sifat
termodinamika yang berdekatan dengan refrigeran yang hendak digantikannya,
utamanya pada tekanan maksimum operasi refrigeran baru yang diharapkan tidak
terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan tekanan refrigeran lama yang
ber-klorin.
Tidak mudah terbakar.
Tidak beracun.
Bisa bercampur
(miscible) dengan pelumas yang umum digunakan dalam mesin refrigerasi.
Setiap refrigeran CFC
hendaknya digantikan oleh satu jenis refrigeran ramah lingkungan.
Setelah periode CFCs,
R22 (HCFC) merupakan refrigeran yang paling banyak digunakan di dalam mesin
refrigerasi dan pengkondisian udara. Saat ini beberapa perusahaan pembuat
mesin-mesin refrigerasi masih menggunakan refrigeran R22 dalam produk-produk
mereka. Meski refrigeran ini, termasuk juga refrigeran jenis HCFCs lainnya,
dijadwalkan untuk dihapuskan pada tahun 2030 (untuk negara maju), namun
beberapa negara Eropa telah mencanangkan jadwal yang lebih progresif, misalnya
Swedia telah melarang penggunaan R22 dan HCFCs lainnya pada mesin refrigerasi
baru sejak tahun 1998, sedangkan Denmark dan Jerman mengijinkan penggunaan
HCFCs pada mesin-mesin baru hanya hingga 31 Desember 1999 (Kruse, 2000).
Protokol Montreal memaksa para peneliti dan industri refrigerasi membuat
refrigeran sintetis baru, HFCs (Hydro Fluoro Carbons) untuk menggantikan
refrigeran lama yang ber-klorin yang dituduh menjadi penyebab rusaknya lapisan
ozon. Weatherhead dan Andersen (2006) mengemukakan bahwa sejak 8 tahun
terakhir, penipisan kolom lapisan ozon tidak terjadi lagi. Kedua peneliti ini
meyakini akan terjadinya pemulihan lapisan ozon. Meski demikian, keduanya tidak
secara jelas merujuk turunnya penggunaan zat perusak ozon sebagai penyebab
pulihnya lapisan ozon. Powell (2002) menyebutkan bahwa adanya kerjasama yang
sangat baik antara produser refrigeran dan perusahaan pengguna refrigeran telah
memungkinkan terjadinya transisi mulus dari era penggunaan CFCs secara
besar-besaran di 1986 hingga penghapusan dan penggantiannya dengan R134a di
tahun 1996. Banyak kalangan menyebutkan bahwa Protokol Montreal adalah salah
satu perjanjian internasional di bidang lingkungan yang paling berhasil
diterapkan.
Saat ini, HCFCs (yang pada dasarnya merupakan pengganti transisional untuk
CFCs) telah memiliki 2 kandidat pengganti, yakni R410A (campuran dengan sifat
mendekati zeotrop) dan R407C (campuran azeotrop) (Kruse, 2000). Hidrokarbon
Propana (R290) juga berpotensi menjadi pengganti R22 (Kruse, 2000). R407C
merupakan campuran antara R32/125/132a dengan komposisi 23/25/52, sedangkan
R410A adalah campuran R32/125 dengan komposisi 50/50 (ASHRAE, 2005). Saat ini,
beberapa perusahaan terkemuka di bidang refrigerasi dan pengkonsian udara telah
menggunakan R410A dalam produk mereka.
Jika Protokol Montreal dan Kyoto dilaksanakan secara penuh dan konsisten, maka
secara umum pada saat ini belum ada pilihan refrigeran komersial selain
refrigeran alami. Meskipun perlu dicatat bahwa baru-baru ini terdapat produsen
refrigeran yang mengklaim keberhasilannya membuat refrigeran yang tidak merusak
ozon dan tidak menimbulkan pemanasan global (ASHRAE, 2006). Beberapa refrigeran
alami yang sudah digunakan pada mesin refrigerasi adalah: amonia (NH3),
hidrokarbon (HC), karbondioksida (CO2), air, dan udara (Riffat dkk., 1997).
Kata "alami" menekankan keberadaan zat-zat tersebut yang berasal dari
sumber biologis atapun geologis; meskipun saat ini beberapa produk refrigeran
alami masih didapatkan dari sumber daya alam yang tidak terbarukan, misalnya
hidrokarbon yang didapatkan dari oil-cracking, serta amonia dan CO2 yang
didapatkan dari gas alam (Powell, 2002).
Penggunaan karbondioksida, air, dan udara pada refrigerator komersial masih
memerlukan riset yang mendalam, sedangkan penggunaan amonia dan hidrokarbon,
meskipun sudah cukup banyak dilakukan, masih memiliki peluang riset yang cukup
banyak (Riffat dkk., 1997). Amonia bersifat racun (toxic) dan cukup mudah
terbakar, sedangkan hidrokarbon termasuk dalam zat yang sangat mudah terbakar;
oleh karena itu refrigeran tersebut secara umum sulit digunakan pada sistem
ekspansi langsung. Sistem refrigerasi tak-langsung bisa digunakan untuk
mengatasi kelemahan kedua refrigeran tersebut. Beberapa peneliti berusaha
menekan tingkat keterbakaran refrigeran hidrokarbon dengan cara mencampurkannya
bersama refrigeran lain yang tak mudah terbakar (Pasek dkk., 2006; Sekhar dkk.,
2004; Dlugogorsky dkk., 2002). Granryd (2001) menekankan bahwa pada dasarnya
sudah tersedia teknologi untuk meningkatkan keamanan pada sistem refrigerasi
yang menggunakan refrigeran hidrokarbon, namun cara yang ekonomis untuk membuat
sistem tersebut aman dan terbukti dapat digunakan dalam skala luas masih perlu
dikembangkan lebih lanjut.
Teknologi Refrigerasi Alternatif
Munculnya beberapa permasalahan pada refrigerasi siklus kompresi uap dalam
dekade belakangan ini membuat beberapa peneliti berusaha memunculkan sistem
refrigerasi alternatif yang tidak mengandung permasalahan serupa. Teknologi
alternatif tersebut diantaranya adalah refrigerasi sistem absorpsi, adsorpsi
padatan (solid adsorption), dan efek magnetokalorik. Sistem absorpsi dan
adsorpsi padatan tidak menggunakan refrigeran yang merusak ozon dan menimbulkan
pemanasan global, serta bisa memanfaatkan panas matahari ataupun panas buangan;
sedangkan refrigerasi sistem efek magnetokalorik sama sekali tidak menggunakan
refrigeran primer.
Refrigerasi Siklus Absorpsi
Gambar 1 Diagram siklus
refrigerasi absorpsi efek tunggal
Pada Gambar 1, QA adalah perpindahan panas dari absorber, WPump kerja yang
diperlukan pompa, QG adalah perpindahan panas yang diperlukan oleh generator,
QC adalah perpindahan panas dari kondenser, dan QE adalah panas yang diserap
oleh evaporator. Penukar kalor yang terdapat di dalam siklus absorpsi berfungsi
untuk meningkatkan temperatur larutan sebelum memasuki generator, sehingga bisa
menghemat energi.
Seperti halnya siklus refrigerasi kompresi uap, efek pendinginan pada siklus
absorpsi juga terjadi pada sisi evaporator. Untuk menggantikan kompresor
seperti yang digunakan di dalam siklus kompresi uap, digunakan tiga komponen di
dalam siklus absorpsi; yakni absorber, pompa, dan generator. Absorber berfungsi
untuk menyerap uap refrigeran ke dalam absorben, sehingga keduanya bercampur
menjadi larutan. Karena reaksi di dalam absorber adalah eksotermik
(mengeluarkan panas), maka perlu dilakukan proses pembuangan panas dari absorber.
Tanpa dilakukannya proses pembuangan panas, maka kelarutan (solubility) uap
refrigeran ke dalam absorben akan rendah. Selanjutnya, larutan tersebut dipompa
ke generator.
Dalam perjalanan menuju generator, larutan dilewatkan di dalam penukar kalor untuk
meningkatkan temperatur (preheating). Daya pompa yang diperlukan sangat kecil,
sehingga dalam perhitungan COP siklus absorpsi, daya ini biasanya diabaikan. Di
dalam generator, larutan dipanaskan hingga terjadi pemisahan refrigeran dari
larutan. Selanjutnya, uap refrigeran tersebut akan memasuki kondensor. Proses
selanjutnya tidak berbeda dengan siklus kompresi uap, yakni kondensasi,
penuruan tekanan (melalui mekanisme penghambat aliran - flow restrictor), dan
evaporasi.
Dua keuntungan utama penggunaan siklus absorpsi adalah: (1) Siklus ini tidak
menggunakan refrigeran yang merusak lapisan ozon dan menimbulkan pemanasan
global, dan (2) Siklus ini bisa menggunakan panas buangan, sehingga sangat
cocok digunakan dalam siklus kombinasi bersama dengan pembangkitan listrik dan
panas/termal. Siklus kombinasi ini sangat berpotensi menghemat energi. Sistem
pemanas dan pendingin di Shinjuku, Jepang, diklaim oleh operatornya (Tokyo Gas)
bisa menghasilkan penghematan energi pendinginan sebesar 20% (Tokyo Gas, 2002).
Performansi sistem ini bisa didefiniskan dengan cara yang sama seperti halnya
dalam siklus kompresi uap, yakni:
Namun karena daya pompa siklus ini umumnya sangat kecil dibandingkan dengan
komponen yang lain, maka WPump seringkali dihilangkan dari Persamaan (3). Dalam
aplikasinya, performa (COP) siklus absorpsi masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan siklus kompresi uap. Dalam artikel reviewnya, Shrikhirin
(2001) menjelaskan beberapa teknik yang bisa digunakan untuk meningkatkan
prestasi siklus absorpsi.
Holmberg dan Berntsson (1990) menerangkan beberapa kriteria yang perlu dipenuhi
oleh fluida kerja (campuran antara refrigeran dan absorben), yakni:
Perbedaan titik didih
antara refrigeran dan larutan pada tekanan yang sama (boiling elevation) haruslah
sebesar mungkin.
Refrigeran perlu
memiliki panas penguapan yang tinggi dan konsentrasi yang tinggi di dalam
absorben untuk menekan laju sirkulasi larutan diantara absorber dan generator
per-satuan kapasitas pendinginan.
Memiliki sifat-sifat
transport, seperti viskositas, konduktivitas termal, dan koefisien difusi, yang
baik sehingga dapat menghasilkan perpindahan panas dan massa yang juga baik.
Baik refrigeran dan
absorbennya harus bersifat non-korosif, ramah lingkungan, dan murah.
Kriteria lain untuk
fluida kerja sistem absorpsi serupa dengan kriteria untuk refrigeran siklus
kompresi uap, seperti stabil secara kimiawi, tidak beracun, tidak mudah
terbakar, dan tidak mudah meledak. Hingga saat ini, fluida kerja yang paling
banyak digunakan di dalam sistem refrigerasi absorpsi adalah Air/NH3 dan
LiBr/Air (Srikhirin dkk., 2001).
Refrigerasi Adsorpsi Padatan (solid adsorption)
Efek pendinginan pada siklus solid adsorption menggunakan prinsip yang sama
dengan sistem refrigerasi lainnya: bahwa proses evaporasi memerlukan suplai
energi (menyerap energi). Proses adsorpsi melibatkan pemisahan suatu zat dari
cairan dan pengakumulasiannya pada permukaan sebuah zat padat. Zat yang menguap
dari fasa cair disebut sebagai adsorbat, sedangkan zat padat yang menyerap adsorbat
disebut sebagai adsorben. Molekul-molekul yang diserap oleh adsorben bisa
dilepaskan kembali dengan cara memanaskan adsorben; dengan demikian proses ini
bersifat reversibel. Terdapat dua macam adsorben, yakni hydrophilic seperti gel
silika, zeolit dan alumina aktif atau alumina berpori; dan hydrophobic seperti
karbon aktif, polimer dan silikat (Sumathy dkk., 2003). Adsorben hydrophilic
memiliki kemampuan ikat yang tinggi dengan zat yang bersifat polar (seperti
air), sedangkan adsorben hydrophobic dengan zat yang bersifat non-polar
(seperti minyak).
Gambar 2 Diagram
Clapeyron untuk siklus adsorpsi ideal
Siklus adsorpsi dasar
bisa dilihat pada Gambar 5. Siklus ideal dimulai dari titik A: adsorben berada
pada temperatur rendah, TA, dan tekanan rendah, PE (tekanan evaporasi). A - B
menunjukkan pemanasan adsorben bersamaan dengan adsorbat. Pada saat ini, wadah
adsorben (kolektor) dihubungkan dengan kondensor. Pemanasan lanjut pada
adsorben dari B ke D menyebabkan sebagian adsorbat mengalami desorpsi dan selanjutnya
uapnya terkondensasi di kondensor (titik C). Pada saat adsorben mencapai
temperatur maksimum, TD, proses desorpsi berhenti. Selanjutnya cairan adsorbat
dikirimkan ke evaporator dari C ke E; kemudian kolektor ditutup dan mendingin.
Penurunan temperatur dari D ke F menyebabkan penurunan tekanan dari PC ke PE.
Setelah kolektor dihubungkan dengan evaporator; evaporasi dan adsorpsi terjadi
pada saat adsorben didinginkan dari temperatur F ke A. Efek pendinginan muncul
pada saat terjadinya evaporasi adsorbat.
Dibandingkan dengan
siklus kompresi uap, prestasi siklus adsorpsi jauh lebih kecil. Sumathy dkk.
(2003) menjelaskan beberapa modifikasi yang perlu dilakukan pada siklus
adsorpsi untuk meningkatkan prestasi siklus tersebut. COP tertinggi siklus
adsorpsi yang didata oleh Sumathy dkk. (2003) adalah 1,06. Beberapa peneliti
telah menyelidiki aplikasi siklus adsorpsi di berbagai bidang, seperti
pengkondisian udara di dalam kabin masinis (Lu dkk., 2004; Wang dkk., 2006a),
refrigerator tenaga surya untuk gedung (Lemmini dan Errougani, 2005), pendingin
air (Liu dkk., 2005), dan pembuat es (ice maker) untuk kapal nelayan (Wang
dkk., 2006b).
Refrigerasi Efek
Magnetokalorik
Efek magnetokalorik,
yang merupakan sifat intrinsik seluruh material magnetik, menyebabkan material
yang bersifat magnetik akan membuang panas dan tingkat entropi magnetiknya
turun pada saat dikenai medan magnet secara isotermal. Efek yang berkebalikan
akan terjadi manakala medan magnet dihilangkan. Dengan demikian, efek
magnetokalorik ini bisa digunakan untuk mendinginkan suatu zat. Prinsip ini
telah digunakan dalam refrigerasi kriogenik sejak tahun 1930-an (Yu dkk.,
2003). Refrigerasi magnetik dipandang sebagai teknologi hijau (green
technology) yang memiliki potensi untuk menggantikan siklus konvensional
kompresi uap. Efisiensi refrigerasi magnetik bisa mencapai 30 - 60% terhadap
siklus Carnot, sedangkan siklus kompresi uap hanya mencapai 5 - 10% terhadap
siklus Carnot (Yu dkk., 2003). Oleh karena itu, refrigerasi magnetik
diperkirakan memiliki potensi yang bagus di masa mendatang.
Siklus dasar
refrigerasi magnetik adalah siklus Carnot magnetik, siklus Stirling magnetik,
siklus Ericcson magnetik, dan siklus Brayton magnetik. Mekanisme kerja siklus
refrigerasi magnetik, misalnya siklus Ericcson magnetik, dijelaskan di bawah
ini (lihat juga Gambar 6).
Proses magnetisasi
isothermal (A-B). Pada saat terjadi kenaikan medan magnet (dari H0 ke H1),
panas dipindahkan dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator untuk menjaga
refrigeran dalam keadaan isotermal. Note: yang dimaksud dengan refrigeran
adalah material magnetik itu sendiri.
Proses pendinginan pada
medan-konstan (B-C). Pada keadaan medan magnet konstan (H1), panas dipindahkan
dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator.
Proses demagnetisasi
isotermal (C-D). Pada saat medan magnet diturunkan (dari H1 ke H0), panas
diserap dari fluida regenerator ke refrigeran magnetik untuk menjaga kondisi
isotermal pada refrigeran.
Proses pemanasan pada
medan-konstan (D-A). Temperatur akhir refrigeran magnetik kembali ke kondisi
semula (A).
Gambar 3 Diagram siklus
Ericcson magnetik. Pada gambar tersebut, S dan T masing-masing adalah entropi
dan temperatur.
Beberapa peneliti
mengeksplorasi kemungkinan penggunaan refrigerasi magnetik sebagai pengganti
sistem refrigerasi konvensional. Pada 1976, di Lewis Research Center of
American National Aeronautics and Space Administration, Brown menggunakan logam
tanah jarang (rare-earth metal) gadolinium (Gd) sebagai refrigeran magnetik
untuk refrigerasi pada temperatur ruang (Yu dkk., 2003). Dengan menambahkan
berbagai variasi silika dan germanium ke latis (lattice) kristal gadolinium,
Vitalij Pecharsky dan Karl Gschneidner dari the Ames Laboratory di Iowa State
University menemukan jenis material baru yang bisa mendinginkan dua hingga enam
kali lebih banyak dalam siklus magnetik tunggal, yang berarti bahwa mesin
refrigerasi ini bisa menggunakan medan magnet yang lebih lemah atau material
yang lebih kecil (Glanz, 1998).
Dengan memadukan
refrigeran magnetik Gd5Ge2Si2 dan sejumlah kecil besi, Provenzano dkk. (2004)
melaporkan bahwa mereka bisa mengurangi kehilangan histerisis (yang menyebabkan
refrigeran magnetik kurang efisien) hingga 90%. Selain menggunakan paduan berbasiskan
gadolinium, Tegus dkk. (2002) menggunakan refrigeran magnetik berbasiskan logam
transisi, MnFeP0.45,As0.55, untuk refrigerasi pada temperatur ruang dengan
hasil refrigerasi yang secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan
Gd5Ge2Si2. Namun demikian, saat ini pengembangan refrigerasi magnetik pada
temperatur ruang masih belum matang. Yu dkk. (2003) menekankan bahwa kesulitan
utama dalam pengembangan refrigerasi magnetik adalah:
Diperlukannya material
magnetik dengan efek magnetokalorik yang besar,
Diperlukannya medan
magnet yang kuat, dan
Diperlukannya sifat
regenerasi dan perpindahan panas yang istimewa.
sumber:
Yuli Setyo Indartono,
Mahasiswa di Graduate School of Science and Technology, Kobe University, Japan.
Peneliti Istecs. E-mail: indartono@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar